A. Negara Hukum dan Hak Asasi manusia
Sebagai Negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia Indonesia
mengatur hak asasi manusia didalam Konstitusinya yaitu undang-undang
dasar 1945, sebagaimana halnya juga konstitusi negara-negara didunia.
Dalam hal pengaturan hak asasi manusia dalam konstitusi Negara Republik
Indonesia disini terlihat suatu bentuk tanggung jawab hak asasi manusia
oleh Negara yang diatur dalam hukum dasarnya yang tertuang dalam
hukum dasarnya tetapi juga bagaimana implementasi dari ketentuan
tersebut dalam pemenuhan hak asasi dari warga negaranya.
Konsep hak asasi manusia yang dituangkan dalam sistem hukum Indonesia
tidak dapat dipisahkan dari situasi yang melingkupinnya pada saat itu
yang tidak dapat dilepaskan dari suasana untuk melepaskan diri dari
kolonialisme yang dimaksudkan untuk mendapatkan kemerdekaan sehingga
Hak asasi manusia yang mendasari hak asasi manusia lainnya yang
terdapat dalam konstitusi Indonesia adalah apa yang terdapat dalam
alinea pertama dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berunyi :
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di dunia harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dalam Pasal 1 ayat(3) Undang-Undang Dasar 1945 tercantum pernyataan
bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Sesuai dengan semangat dan
ketegasan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, jelas bahwa negara hukum
yang dimaksud bukanlah sekedar sebagai negara hukum dalam arti formil,
apalagi hanya sebatas sebagai negara penjaga malam yang hanya menjaga
jangan sampai terjadi pelanggaran atau menindak para pelanggar hukum.
Pengertian negara hukum menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah negara
hukum dalam arti luas. Negara hukum dalam arti luas mengandung makna
bahwa: Pertama, negara dengan produk hukumnya bukan saja melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, tetapi juga
harus memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
kedua dalam suatu negara hukum, konstitusi yang merupakan hukum dasar
(yang merupakan pedoman dalam penyelenggaraan negara baik aparatur
negara maupun warga negara, dalam menjalankan peran, hak dan kewajiban
ataupun tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam bernegara) bisa
berbentuk tertulis (UUD 1945) tetapi juga hukum dasar lain yang tidak
tertulis yang timbul dan terpelihara yang berupa nilai-nilai dan
norma-norma yang hidup dalam praktek penyelenggaraan negara yang disebut
konvensi; dan ketiga, bahwa sumber hukum di Indonesia menyangkut
seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Pasal 1 ayat ( 1 ) Undang-Undang No 39 Tahun 1999 :
”Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Dalam Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia:
”Bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri
manusia secara kodrati,universal, dan abadi sebagai Anugerah Tuhan Yang
Maha Esa.”
Dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia:
”Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum,pemerintah,dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Secara tersurat pengakuan terhadap konsep hak asasi manusia yang
universal dalam sistem hukum Indonesia terdapat dalam Keputusan Presiden
Republik Indonesia No 50 /1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, dalam bagian menimbang butir b dikatakan:
“Bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat bangsa-bangsa,
menghormati Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi Universal
Hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.”
Pada Bagian B mengenai Landasan dalam TAP MPR No XVII/MPR/1998 pada
butir 2 dengan tegas dituangkan pengakuan bangsa Indonesia terhadap
universalitas HAM yang didasarkan pada Universal Declaration of Human
Rights:
“Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
mempunyai tanggung jawab untuk menghormati Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan berbagai
instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia.”
Pada Piagam Hak asasi manusia Indonesia yang merupakan Bagian dari TAP
MPR NO XVII/MPR/1998 pada Pembukaan alinea keempat dikatakan :
“Bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 telah mengeluarkan
Deklarasi Universal Hak asasi manusia (Universal Declaration of Human
Rights). Oleh Karena itu bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk menghormati ketentuan dalam
deklarasi tersebut.”
Dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 mengenai hak asasi manusia, pada bagian menimbang pada butir d dikatakan:
“bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengemban tanggungjawab moral dan hukum untuk menjungjung tinggi dan
melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang
ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrument
internasional lain yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia.”
Hal senada juga terdapat dalam Penjelasan Undang-Undang No 26 Tahun 2000
mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Bagian I Umum alinea 4
dikatakan:
“Untuk melaksanakan amanat ketetapan MPR RI No XVII/MPR/ 1998
tentang Hak Asasi Manusia tersebut telah dibentuk Undang-Undang No 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pembentukan Undang-Undang tersebut
merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di samping hal tersebut, pembentukan
Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia juga mengandung suatu misi
mengemban tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan
melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang ditetapkan
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai
instrument hukum lainnya yang mengatur hak asasi manusia yang telah
disahkan dan atau diterima oleh negara Republik Indonesia”
Dalam perjalanan Negara Republik Indonesia sesungguhnya sejarah Hak
Asasi Manusia sudah terpikirkan oleh pendiri negara dengan kondisi yang
terjadi pada waktu itu sebagaimana yang tergambar dalam perdebatan dalam
sidang-sidang BPUPKI yang merupakan sejarah penting dalam perkembangan
Hak Asasi Manusia di Indonesia :
Soekarno dan Supomo mengajukan pendapat bahwa hak-hak warga negara tidak
perlu dicantumkan dalam pasal-pasal konstitusi. Sebaliknya, Mohammad
Hatta dan Muhammad Yamin tegas berpendapat perlunya mencantumkan pasal
mengenai kemerdekan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran
dengan lisan maupun tulisan di dalam Undang-Undang Dasar. Perdebatan
dalam sidang-sidang BPUPKI tersebut merupakan tonggak penting dalam
diskursus hak asasi manusia di Indonesia, yang memberi pijakan bagi
perkembangan wacana hak asasi manusia periode-periode selanjutnya.
Karena itu, menarik apabila kita menyimak sedikit perdebatan tersebut.
Mengapa Soekarno dan Supomo menolak pencantuman pasal-pasal hak warga
negara dalam Konstitusi Indonesia. Penolakan Soekarno dan Supomo
tersebut didasarkan pada pandangan mereka mengenai dasar negara yang
dalam istilah Soekarno disebut dengan “Philosofische grondslag” atau
dalam istilah Supomo disebut “Staatsidee” yang tidak berlandaskan pada
faham liberalisme dan kapitalisme. Menurut pandangan Soekarno, jaminan
perlindungan hak warga negara itu yang berasal dari revolusi Prancis,
merupakan basis dari faham liberalisme dan individualisme yang telah
menyebabkan lahirnya imperialisme dan peperangan antara manusia dengan
manusia.
Solly Lubis yang menyatakan bahwa, hak-hak asasi yang dirumuskan dalam
UUD lebih menunjukkan asas kekeluargaan, sedangkan negara-negara lain
mendasarkan versinya pada asas liberalisme.
Soekarno menginginkan negara yang mau didirikan itu didasarkan pada asas
kekeluargaan atau gotong-royong, dan karena itu tidak perlu dijamin hak
warga negara di dalamnya. Kutipan di bawah ini akan menunjukkan argumen
Soekarno yang menolak mencantumkan hak-hak warga negara:
“... saya minta dan menangis kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
buanglah sama sekali faham individualisme itu, janganlah dimasukkan
dalam Undang-Undang Dasar kita yang dinamakan rights of the citizens
yang sebagaidianjurkan oleh Republik Prancis itu adanya”.
“... Buat apa membikin grondwet, apa gunanya grondwet itu kalau
grondwet tak dapat mengisi perutnya orang yang hendak mati kelaparan.
Grondwet yang berisi “droits de I’ homme et du citoyen” itu, tidak bisa
menghilangkan kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan.
Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan
negara kepada paham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham
gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran,
tiap-tiap faham individualism dan liberalisme dari padanya”.
Supomo menolak dicantumkannya hak warga negara dalam pasal-pasal
Undang-Undang Dasar dengan alasan yang berbeda. Penolakan Supomo
didasarkan pada pandangannya mengenai ide negara integralistik
(staatsidee integralistik), yang menurutnya cocok dengan sifat dan corak
masyarakat Indonesia.
Menurut paham tersebut negara harus bersatu dengan seluruh rakyatnya,
yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun. Dalam
negara yang demikian itu, tidak ada pertentangan antara susunan hukum
staat dan susunan hukum individu, karena individu tidak lain ialah suatu
bagian organik dari Staat. Makanya hak individu menjadi tidak relevan
dalam paham negara integralistik, yang justru relevan adalah kewajiban
asasi kepada negara. Paham inilah yang mendasari argumen Supomo.
Sebaliknya, mengapa Hatta dan Yamin bersikeras menuntut dicantumkannya
hak warga negara dalam pasal-pasal Konstitusi? Hatta setuju dengan
penolakan terhadap liberalisme dan individualisme, tetapi kuatir dengan
keinginan untuk memberikan kekuasaan yang seluas-luasnya kepada negara,
bisa menyebabkan negara yang ingin didirikan itu terjebak dalam
otoritarianisme. Berikut argumen Hatta:
“Tetapi satu hal yang dikuatirkan kalau tidak ada satu keyakinan
atau satu pertanggungan kepada rakyat dalam hukum dasar yang mengenai
haknya untuk mengeluarkan suara, saya kuatir menghianati di atas
Undang-Undang Dasar yang kita susun sekarang ini, mungkin terjadi satu
bentukan negara yang tidak kita setujui”.
“Sebab itu ada baiknya dalam satu pasal, misalnya pasal yang mengenai
warga negara disebutkan di sebelah hak yang sudah diberikan juga kepada
misalnya tiap-tiap warga negara rakyat Indonesia, supaya tiap-tiap
warganegara itu jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut
disini hak buat berkumpul dan bersidang atau menyurat dan lain-lain.
Tanggungan ini perlu untuk menjaga supaya negara kita tidak menjadi
negara kekuasaan,sebab negara didasarkan kepada kedaulatan rakyat”.
Demikian juga dengan Yamin yang menolak dengan keras argumen-argumen
yang membela tidak dicantumkannya hak warga negara dalam Undang-Undang
Dasar. “Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam
Undang-Undang Dasar seluas-luasnya, menolak segala alasan-alasan yang
dimajukan untuk tidak memasukkannya. Aturan dasar tidaklah berhubungan
dengan liberalisme, melainkan semata-mata satu kesemestian perlindungan
kemerdekaan, yang harus diakui dalam Undang-undang Dasar,” Yamin
mengucapkan pidatonya pada sidang BPUPKI. Pendapat kedua pendiri bangsa
ini didukung oleh anggota BPUPKI lainnya, Liem Koen Hian, yang
mengusulkan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan buat drukpers,
onschendbaarheid van woorden (pers cetak, kebebasan mengeluarkan pikiran
dengan lisan.
Percikan perdebatan yang dipaparkan di atas berakhir dengan suatu
kompromi.Hak warga negara yang diajukan oleh Hatta, Yamin dan Liem Koen
Hian diterima untuk dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar, tetapi dengan
terbatas. Keterbatasan itu bukan hanya dalam arti bahwa hak-hak
tersebut lebih lanjut akan diatur oleh undangundang,tetapi juga dalam
arti konseptual. Konsep yang digunakan adalah “HakWarga Negara” (“rights
of the citizens”) bukan “Hak Asasi Manusia” (human rights).
Penggunaan konsep “Hak Warga Negara” itu berarti bahwa secara
implisit tidak diakui paham natural rights yang menyatakan bahwa hak
asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia karena dilahirkan
sebagai manusia. Sebagai konsekuensi dari konsep itu, maka
negaraditempatkan sebagai “regulator of rights”, bukan sebagai “guardian ofhuman rights” sebagaimana ditempatkan oleh sistem Perlindungan Internasional Hak Asasi Manusia.
Perdebatan dalam penyusunan hak asasi manusia dalam periode awal
kemerdekaan, apa yang terdapat dalam pembukaan undang-undang dasar 1945
memperlihatkan suatu keadaan yang berkaitan dengan bagaimana
menyikapi hak asasi manusia pada waktu itu yang terlihat dalam pembukaan
sebagai berikut :
”penentangan adanya segala bentuk penjajahan atas semua bangsa,
memajukan kesejahteraan umum, keinginan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa, ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial”, sangat dipengaruhi oleh situasi politik
Indonesia yang baru saja lepas dari pengalaman pahit dijajah oleh
kolonialisme Belanda. Bahasa Ato Masuda, “di dalam UUD Tahun 1945 ini
tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang muluk-muluk tetapi tidak berisi
seperti dalam Konstitusi RIS tahun 1949 dan UUDS 1950, akan tetapi di
dalamnya cuma terdapat ketentuan-ketentuan mengenai hubungan di antara
orang-orang Indonesia dan negaranya yang sedang berjuang untuk
kemerdekaan nasionalnya.
Pengaturan hak asasi manusia dalam UUD 1945 dalam periode awal
kemerdekaan merupakan suatu periode dimana UUD 1945 merupakan suatu
produk yang dibuat secara tergesa-gesa sehingga mengandung kekosongan
termasuk di dalamnya berkaitan dengan persoalan hak asasi manusia.
Seperti diketahui, pemikiran anti HAM dalam perdebatan dan perumusan
UUD 1945 di BPUPKI memang lebih dominan. Akan tetapi berkat kegigihan
Mohamad Hatta danYamin,beberapa pasal tentang HAM seperti jaminan atas
kebebasan beragama dan kebebasan berserikat dan berkumpul, dan
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan lain sebagainya, bisa
masuk di dalam konstitusi tersebut, Kalau ditelusuri lebih mendalam
substansi nilai HAM ini jelas terkait dan mendasari seluruh gerak
perjuangan kemerdekaan. Seperti muncul secara dominan saat perumusan
Deklarasi Universal HAM ( Universal Declaration of Human Rights) tahun
1948, primus interpares hak-hak asasi manusia adalah dignity of man,
kemuliaan manusia.
Padanan kata Inggris “dignity” didalam bahasa Indonesia adalah
derajat atau yang lebih tepat adalah martabat. Martabat adalah sesuatu
yang melekat dalam diri manusia. Oleh sebab itu kalau kita perhatikan
seluruh konvensi dan atau kovenan internasional berikut protokolnya
tampak bahwa seluruh hak-hak yang masuk dalam hak asasi manusia terkait
dan dirumuskan dalam kerangka (melindungi, menghormati atau meninggikan)
martabat manusia.
Perdebatan mengenai orientasi pendidikan dan budaya dalam rangka
memajukan martabat manusia Indonesia. Soetatmo lebih berorientasi budaya
dan nasionalisme Jawa, sedangkan Tjipto lebih mengajukan tawaran
pemikiran untuk lebih berorientasi nilai-nilai budaya moderen sehingga
gagasan nasionalisme yang ditawarkannya bukanlah yang berorientasi Jawa
tetapi nasionalisme yang moderen.
Apa yang disengketakan adalah soal cara dan orientasi budaya, tetapi
keduanya berpikir sama dalam kerangka mengangkat martabat manusia.
Orientasi pemikiran tersebut bukan hanya sampai pada perlunya
pengembangan nasionalisme Indonesia yang moderen, tetapi bagi Tjipto
sampai pada perlunya pengembangan demokrasi. Tjipto memandang, demokrasi
lebih sesuai dengan cita-cita meningkatkan martabat manusia Indonesia.
Pergulatan dalam merumusan cita-cita perjuangan bangsa ini berkembang
terus hingga mencapai puncaknya yang ditandai dengan Sumpah Pemuda 1928,
yaitu peristiwa monumental disana diikrarkan sosok bayangan
keindonesian: Satu Bangsa, Satu Tanah Air, Satu Bahasa Indonesia.
Deklarasi Sumpah Pemuda dapat ditafsirkan sebagai bingkai untuk
mewujudkan upaya meninggikan martabat manusia Indonesia dalam suatu
ikatan kebangsaan. Didalamnya implisit hasrat mewujudkan suatu Negara
Indonesia. Dan di dalam Negara Indonesia itu, menurut Hatta, yang
berlaku adalah “Daulat rakyat”. Bentuk negaranya itu sendiri,sebagaimana
Sebelumnya sudah dicanangkan oleh Tan Malaka, adalah republic sebagai
alternatif dari sistem pemerintahan penjajah, bukan kerajaan. Sejak itu
dengan meminjam judul buku Tan Malaka, sejarah perjuangan bangsa adalah
tidak lain merupakan perjuangan menuju republik.
Dicapainya Proklamasi Kemerdekaan tanggall 17 Agustus 1945 dapat
dipandang sebagai puncak dari tumbuh-berkembangnya cita-cita bangsa
tersebut. Para pendiri bangsa itu sendiri, menandai peristiwa monumental
itu sebagai “pintu gerbang” bagi proses pemerdekaan bangsa Indonesia.
Mengacu kepada pikiran Bung Karno,proses pemerdekaan ini mencakup
kedalam maupun keluar. Pemerdekaan kedalam mengandung arti sebagai
proses pemerdekaan rakyat Indonesia dalam rangka memanusiakan setiap
individu manusia Indonesia agar menjadi manusia yang sederajat dengan
manusia-manusia dari bangsa lain. Proses memerdekakan manusia Indonesia
dimaksudkan agar setiap orang Indonesia, apapun suku bangsa, agama,
keturunan, ras, warna kulit ataupun latar belakang sosial dan budayanya,
semuanya harus dipandang, diakui dan dihormati sama kedudukan dan
martabatnya. Dengan lain perkataan proses pemerdekaan manusia Indonesia
adalah upaya untuk membebaskan rakyat Indonesia dari segala bentuk
penindasan penghinaan dan pelecehan dari siapapun atau oleh siapapun,
tidak terkecuali diri pemerintah negaranya sendiri sehingga mereka
menjadi tuan di negaranya sendiri yang dihormati oleh semua orang.
Pemerdekaan keluar berarti proses peningkatan harga diri bangsa
Indonesia dalam pergaulan Internasional melalui berbagai upaya
diplomatik, sehingga diterima sebagai bangsa bermartabat dan masuk dalam
jajaran bangsa-bangsa beradab didunia. Upaya-upaya untuk mewujudkan
kesederajatan sebagai sebuah bangsa ini penting dilakukan agar bangsa
Indonesia diterima dan memperoleh pengakuan dari bangsa lain atas dasar
kesederajatan tersebut. Keduanya tidak bisa dipisahkan.
Pemerdekaan rakyat di dalam negeri merupakan prasyarat bagi peningkatan
derajat bangsa secara keseluruhan di forum internasional. Dari sudut
pandang inilah pentingnya. Dari sudut pandang inilah pentingnya
legislasi HAM dalam konstitusi berikut undang-undang organik serta
implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena merupakan
dasar bagi upaya peningkatan dan pengakuan bangsa lain atas
tinggi-rendahnya bangsa Indonesia sebagai bangsa beradab.
Kekuasaan bangsa sendiri yang otoriter dan dari berbagai keterbelakangan
yang merendahkan martabat manusia Indonesia. Semuanya itu ditujukan
untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonsia. Tujuan mengangkat
harkat dan martabat setiap manusia Indonesia inilah yang dimaksudkan
sebagai perspektif perjuangan Hak Asasi Manusia di Indonesia yang dengan
sendirinya harus dipahami sebagai komitmen Nasional.
Dalam perkembangannya selanjutnya terdapat tahapan pengaturan hak asasi
manusia dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950, hak-hak asasi manusia yang
diatur dalam Konstitusi RIS jauh lebih lengkap, dan dimasukkan dalam
suatu bagian tersendiri, oleh UUDS 1950, yaitu dalam Bagian V yang
meliputi 27 pasal (lihat pasal 7 sampai pasal 34). Yamin sendiri
mencatat dalam kitabnya “Proklamasi dan Konstitusi RIS”, sebagaimana dikutip oleh Koentjoro, menyatakan bahwa “Konstitusi
RIS dan UUDS 1950 adalah satu-satunya dari segala konstitusi yang telah
berhasil memasukkan hak asasi manusia itu ke dalam Konstitusi”
Dalam masa pemberlakuan UUDS, krisis yang terjadi sepanjang tahun
1950-1959, melakukan pembentukan pengganti UUDS. Setelah melalui Dekrit
Presiden 1959, Soekarno yang saat itu kecewa dengan hasil sidang Dewan
Konstituante, memberlakukan kembali UUD 1945 dan menyatakan adanya
Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy), dengan jalan yang sesungguhnya
“inkonstitutional”. Pemberlakukan kembali UUD 1945 yang diharapkan
memberikan proses demokratisasi dan penopang jaminan hak-hak asasi
manusia, sangat berat dilakukan, karena banyak sekali praktek
penyalahgunaan kekuasaan yang justru diawali dari sang pemimpin itu
sendiri.
B. Hak Pemulihan Yang Efektif atas Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Hak untuk mendapatkan remedi atas pelanggaran hak asasi manusia
merupakan cerminan dari hak asasi manusia yang bersifat universal.
Impunity dalam hukum internasional tidak dikenal, impunity adalah suatu
keadaan dimana pelaku tidak terjangkau oleh hukum, dan negara tidak
menghukum pelaku, sehingga pelaku tidak diminta pertanggungjawabannya
atas pelanggaran HAM yang dilakukannya. Sebagai konsekuensi dari adanya
hak tersebut, sebagai suatu hak yang bersifat universal, tentunya setiap
pelanggaran hak asasi manusia, harus dilakukan proses remedy yang tidak
saja meliputi proses peradilan atas pelanggaran HAM tersebut, tetapi
juga dapat meliputi, rehabilitasi, restitusi dan kompensasi.
Hal ini sesuai dengan ketentuan dan prinsip hukum hak asasi manusia
internasional yang secara prinsip dan praktik diakui pula oleh
Indonesia, seperti Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat
(2), prinsip dan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Basic
Principles and Guidelines on The Right to A Remedy and Reparation for
Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and
Serious Violations of International Humanitarian Law, C.H.R. Res.
2005/35, U.N. Doc. E/CN.4/2005/L.10/Add.11, The Updated Set of
Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through
Action to Combat Impunity, U.N. Doc. E/CN.4/2005/102/Add.1, serta
konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Bahwa sebagai Konstitusi Negara yang beradab, UUD 1945 sejalan dan
konsekuen dengan prinsip-prinsip yang telah diakui oleh bangsa-bangsa
yang beradab di seluruh dunia sebagaimana dinyatakan Pasal 55 dan 56 UN
Charter;
Article 55
With a view to the creation of conditions of stability and well-being
which are necessary for peaceful and friendly relations among nations
based on respect for the principle of equal rights and
self-determination of peoples, the United Nations shall promote:
a. higher standards of living, full employment, and conditions of economic and social progress and development;
b. solutions of international economic, social, health, and related problems;
c. international cultural and educational co-operation; and
d. universal respect for, and observance of, human rights and
fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex,
language, or religion.
Article 56
All Members pledge themselves to take joint and separate action in
co-operation with the Organization for the achievement of the purposes
set forth in Article 55;
Artinya:
Pasal 55
Dengan maksud terciptanya stabilitas dan keamanan yang diperlukan untuk
hubungan yang damai antar negara berdasarkan pronsop-prinsip persamaan
hak dan hak menentukan nasib sendiri, PBB harus mendukung:
a. Standar kehidupan yang lebih tinggi, pekerjaan, serta kondisi ekonomi dan kemajuan sosial serta pembangunan;
b. Solusi atas masalah ekonomi internasional, sosial dan kesehatan;
c. Kerjasama budaya dan pendidikan; dan
d. Penghargaan universal dan pengamatan terhadap hak asasi manusia
dan kebebasan fundamental tanpa membedakan ras, kelamin, bahasa atau
agama.
Pasal 56
Seluruh Anggota berikrar untuk berpartisipasi dan mengambil tindakan
bekerjasama dengan Organisasi untuk mencapai tujuan-tujuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55.
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human
rights) yang merupakan kejahatan internasional, maka prinsip-prinsip dan
pedoman yang tercantum dalam Basic Principles and Guidelines on the
Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of
International Human Rights Law and Serious Violations of International
Humanitarian Law (C.H.R. Res. 2005/35) harus tercakup dalam ketentuan
mengenai pemulihan menurut UUKKR, yakni yang terdapat pada Pasal 27 UU
tersebut. Ketentuan internasional tersebut memberikan jaminan atas
hak-hak korban, termasuk juga jaminan atas tiadanya diskriminasi,
jaminan atas persamaan di depan hukum, dan jaminan atas penghormatan
martabat manusia sebagaimana juga dijamin oleh UUD 1945.
C. Hak Asasi Manusia dan Hukum Pembangunan
Berbicara mengenai Pembangunan Hukum tidak dapat melepaskan diri dari
Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1973 bidang hukum, yang isinya
bahwa hukum tidak boleh menghambat proses modernisasi, dan
Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1983 Bidang Hukum yang isinya
antara lain bahwa hukum dapat berfungsi sebagai sarana pembaharuan
masyarakat.
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum tidaklah semata-mata
merupakan gejala normatif, tetapi juga merupakan gekala sosial, karena
itu hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat ( living law ). Dalam suatu masyarakat yang berkembang,
hukum berfungsi sebagai sarana pembangunan ( Law as a tool of Social
Engineering), pengertiannya adalah sebagai berikut : (1) keteraturan
atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan merupakan
sesuatu yang diinginkan atau bahkan dipandang perlu;(2) hukum dalam arti
kaidah atau peraturan hukum bisa berfungsi sebagai alat ( pengatur)
atau sarana pembangunan dalam arti penyalur ke arah kegiatan manusia ke
arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan. Dalam hal ini
teori hukum pembangunan dapat ditafsirkan untuk mengarahkan fungasi
hukum pada pengintegrasian hukum internasional dengan hukum nasional.
Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan
terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi
adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Untuk mencapai ketertiban
diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dan
masyarakat. Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat manusia
tidak mungkin mengembangkan kemampuannya secara optimal di dalam
masyarakat.Disamping ketertiban dan kepastian hukum,adalah tercapainya
keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan
jaman.
Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat.
Mengingat fungsinya, sifat hukum pada dasarnya adalah konservatif,
artinya hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah
tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk
masyarakat yang sedang membangun, karena hasil-hasil pembangunan itu
harus dipelihara, dilindungi, dan diamankan.Dalam masyarakat yang sedang
membangun, fungsi hukum tidaklah cukup hanya untuk memelihara dan
mempertahankan pembangunan, tetapi hukum juga harus dapat membantu
proses perubahan masyarakat.Selama perubahan yang dikehendaki dalam
masyarakat hendak dilakukan dengan cara yang tertib, selama itu pula
masih ada tempat bagi hukum.
Masalah Pembangunan Hukum pada saat ini kita tidak dapat melepaskan diri
dari Undang-Undang No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan
Nasional Tahun 2000-2004 dimana dalam Bab II Prioritas Pembangunan
Nasional pada point B.2 untuk Mewujudkan Supremasi Hukum dan
Pemerintahan yang baik, serta pada Bab III secara khusus mengatur
Pembangunan Hukum dimana didalamnya program Pembangunan hukum meliputi,
program pembentukan peraturan perundang-undangan, program pemberdayaan
lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya, program penuntasan
kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta pelanggaran Hak Asasi
Manusia, program peningkatan kesadaran hukum dan pengembangan budaya
hukum.
Hukum tidak saja merupakan keseluruhan asas-asan dan kaidah-kaidah yang
mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula
lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses yang mewujudkan
berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.
Dasar pengertian hukum tersebut, hukum memiliki hubungan timbal balik
dengan masyarakat, sehingga dapat dipahami apabila hukum itu merupakan
salah satu sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat.
Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat ( Law as a tool of Social
Engineering) bertujuan tercapainya ketertiban, kepastian hukum, dan rasa
keadilan masyarakat.
Pada sisi lain dengan adanya Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, menegaskan pentingnya
Pembangunan Nasional di semua bidang kehidupan secara terpadu dalam
Wilayah Negara Republik Indonesia.
“Mengutip tulisan Mochtar Kusumaatmaja dalam Pembinaan Hukum dalam
Rangka Pembangunan Nasional. Pembangunan diartikan meliputi segala
segi dari kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi kehidupan ekonomi
belaka – karena itu istilah pembangunan ekonomi sebenarnya kurang tepat,
karena kita tidak dapat membangun ekonomi suatu masyarakat tanpa
menyangkutkan pembangunan segi-segi kehidupan masyarakat lainnya,yang
menjadi persoalan kini adalah: adakah peranan hukum dalam proses
pembangunan itu dan bila ada apakah peranannya.
Apabila diteliti, semua masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh
perubahan bagaimanapun kita mendefinisikan pembangunan itu dan apapun
ukuran yang kita gunakan bagi masyarakat dalam pembangunan. Peranan
Hukum dalam dalam Pembanguna adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu
terjadi dengan cara teratur.
Ada anggapan yang boleh dikatakan hampir merupakan keyakinan bahwa
perubahan yang teratur demikian dapat dibantu oleh perundang-undangan
atau keputusan pengadilan atau kombinasi dari keduanya.”
Mengutip pendapat Mochtar Kusumaatmaja diatas penulis mengawali paper
ini dengan mengatakan bahwa pembangunan Hak Asasi Manusia di Indonesia
seharusnya dilakukan dengan Perubahan melalui proses
Perundang-Undangan atau/dan keputusan pengadilan.
Pada tahun 1998 merupakan titik awal dari Reformasi di Indonesia,
reformasi hukum termasuk didalamnya keinginan dari bangsa Indonesia
untuk memperbaiki berbagai persoalan yang berkaitan dengan Hak Asasi
Manusia dengan kata lain Bangsa Indonesia ingin membangun Hak Asasi
Manusia dalam Sistem Hukum Indonesia .
Keinginan untuk mewujudkan perbaikan dibidang Hak Asasi Manusia
diwujudkan dengan dikeluarkanya Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor XVII/MPR/MPR/1998 tentang Pandangan
Hidup Bangsa Indonesia tentang Hak Asasi Manusia dan Piagam Hak Asasi
Manusia, yang kemudian ditindak lanjuti dengan Keputusan Presiden
republik Indonesia No 129 Tahun 1998 mengenai Rencana Aksi Nasional
Hak Asasi Manusia, yang kemudian Pasal mengenai Hak Asasi Manusia
termuat dalam Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 , menunjukan
keinginan dari Bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
internasional yang berkewajiban untuk menghormati, menghargai dan
menjunjung tinggi prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal mengenai Hak Asasi Manusia.
Sebagai bangsa yang menghormati Hak-Hak Asasi Manusia sebagaimana
dijamin oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan
pandangan hidup, falsafah bangsa dan landasan konstitusional bagi negara
Kesatuan Republik Indonesia tentunya bangsa Indonesia berkewajiban
untuk melaksanakan Hak Asasi Manusia dalam semua sendi Kehidupan Bangsa
Indonesia. Mengutip tulisan Notonagoro:
“Dalam bukunya Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila dimana,
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai pernyataan Kemerdekaan yang
terperinci yang mengandung cita-cita luhur dari Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945 dan yang memuat Pancasila sebagai Dasar Negara,
merupakan satu rangkaian dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945,
dan oleh karena itu tidak dapat dirubah oleh siapapun juga, termasuk
MPR hasil pemilihan Umum, yang berdasarkan pasal 3 dan pasal 37
Undang-Undang Dasar berwenang menetapkan dan merubah undang-undang
Dasar, karena merubah isi Pembukaan berarti Pembubaran Negara.”
Penulis menggunakan apa yang dikatakan oleh Notonagoro dalam disertasi
ini, dikarenakan bahwa bagaimanapun berkembangnya zaman yang
berpengaruh pada aturan-aturan hukum maka tidak dapat meninggalkan
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dikarenakan Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 itu merupakan yang dinamakan pokok kaidah fundamentil
daripada Negara Republik Indonesia dan mempunyai kedudukan tetap
terlekat kepada kelangsungan Negara Republik Indonesia atas Proklamasi
Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
“Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu menurut sejarah terjadinya,
ditentukan oleh Pembentuk Negara dan menurut isinya memuat asas
kerohanian Negara (Pancasila), asas politik Negara (Republik yang
berkedaulatan rakyat), tujuan Negara (melindungi segenap Bangsa
Indonesia dan seluruh Tumpah Darah Indonesia dan memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan social ), lagi pula menetapkan adanya suatu undang-undang dasar
Negara Indonesia, jadi Pembukaan dalam segala sesuatunya memang
memenuhi syarat-syarat mutlak bagi suatu pokok kaidah Negara yang
fundamentil.”
No comments:
Post a Comment