a. Globalisasi
Adanya Era Globalisasi dapat berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya
bangsa Indonesia. Era Globalisasi tersebut mau tidak mau, suka atau
tidak suka telah datang dan menggeser nilai-nilai yang telah ada.
Nilai-nilai tersebut baik yang bersifat positif maupun yang bersifat
negatif. Ini semua merupakan ancaman, tantangan dan sekaligus sebagai
peluang bagi bangsa Indonesia untuk berkreasi, dan berinovasi di segala
aspek kehidupan.
Di Era Globalisasi pergaulan antar bangsa semakin ketat. Batas antar
negara hampir tidak ada artinya, batas wilayah tidak lagi menjadi
penghalang. Di dalam pergaulan antar bangsa yang semakin kental itu akan
terjadi proses alkulturasi, saling meniru dan saling mempengaruhi
antara budaya masing-masing. Yang perlu kita cermati dari proses
akulturasi tersebut apakah dapat melunturkan tata nilai yang merupakan
jati diri bangsa Indoensia. Lunturnya tata nilai tersebut biasanya
ditandai oleh dua faktor yaitu :
- Semakin menonjolnya sikap individualistis yaitu mengutamakan kepentingan pribadi diatas kepentingan umum, hal ini bertentangan dengan azas gotong-royong.
- Semakin menonjolnya sikap materialistis yang berarti harkat dan martabat kemanusiaan hanya diukur dari hasil atau keberhasilan seseorang dalam memperoleh kekayaan. Hal ini bisa berakibat bagaimana cara memperolehnya menjadi tidak dipersoalkan lagi. Bila hal ini terjadi berarti etika dan moral telah dikesampingkan.
Dengan adanya globalisasi, intensitas hubungan masyarakat antara satu
negara dengan negara yang lain menjadi semakin tinggi. Dengan demikian
kecenderungan munculnya kejahatan yang bersifat transnasional menjadi
semakin sering terjadi. Kejahatan-kejahatan tersebut antara lain terkait
dengan masalah narkotika, pencucian uang (money laundering), peredaran
dokumen keimigrasian palsu dan terorisme. Masalah-masalah tersebut
berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya bangsa yang selama ini dijunjung
tinggi mulai memudar. Hal ini ditunjukkan dengan semakin merajalelanya
peredaran narkotika dan psikotropika sehingga sangat merusak kepribadian
dan moral bangsa khususnya bagi generasi penerus bangsa. Jika hal
tersebut tidak dapat dibendung maka akan mengganggu terhadap ketahanan
nasional di segala aspek kehidupan bahkan akan menyebabkan lunturnya
nilai-nilai identitas nasional.
Proses Berbangsa dan Bernegara
a. Paham Nasionalisme Kebangsaan
Dalam perkembangan peradaban manusia, interaksi sesama manusia berubah
menjadi bentuk yang lebih kompleks dan rumit. Dimulai dari tumbuhnya
kesadaran untuk menentukan nasib sendiri. Di kalangan bangsa-bangsa yang
tertindas kolonialisme dunia, seperti Indonesia salah satunya, hingga
melahirkan semangat untuk mandiri dan bebas untuk menentukan masa
depannya sendiri. Dalam situasi perjuangan perebutan kemerdekaan,
dibutuhkan suatu konsep sebagai dasar pembenaran rasional dari tuntutan
terhadap penentuan nasib sendiri yang dapat mengikat keikutsertaan semua
orang atas nama sebuah bangsa. Dasar pembenaran tersebut, selanjutnya
mengkristal dalam konsep paham ideologi kebangsaan yang biasa disebut
dengan nasionalisme. Dari sanalah kemudian lahir konsep-konsep
turunannya seperti bangsa (nation), negara (state), dan gabungan
keduanya yang menjadi konsep negara-bangsa (nation-state) sebagai
komponen-komponen yang membentuk Identitas Nasional atau Kebangsaan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa Paham Nasionalisme atau Paham Kebangsaan
adalah sebuah situasi kejiwaan dimana kesetiaan seseorang secara total
diabdikan langsung kepada negara bangsa atas nama sebuah bangsa.
Munculnya nasionalisme terbukti sangat efektif sebagai alat perjuangan
bersama merebut kemerdekaan dari cengkeraman kolonial. Semangat
nasionalisme diharapkan secara efektif oleh para penganutnya dan dipakai
sebagai metode perlawanan dan alat identifikasi untuk mengetahui siapa
lawan dan kawan.
b. Paham Nasionalisme Kebangsaan sebagai paham yang mengantarkan pada konsep Identitas Nasional
Paham Nasionalisme atau paham Kebangsaan terbukti sangat efektif sebagai
alat perjuangan bersama merebut kemerdekaan dari cengkeraman kolonial.
Semangat nasionalisme dihadapkan secara efektif oleh para penganutnya
dan dipakai sebagai metode perlawanan, seperti yang disampaikan oleh
Larry Diamond dan Marc F Plattner, para penganut nasionalisme dunia
ketiga secara khas menggunakan retorika anti kolonialisme dan anti
imperalisme. Para pengikut nasionalisme tersebut berkeyakinan bahwa
persamaan cita-cita yang mereka miliki dapat diwujudkan dalam sebuah
identitas politik atau kepentingan bersama dalam bentuk sebuah wadah
yang disebut bangsa (nation). Dengan demikian bangsa atau nation
merupakan suatu badan wadah yang di dalamnya terhimpun orang-orang yang
mempunyai persamaan keyakinan dan persamaan lain yang mereka miliki
seperti ras, etnis, agama, bahasa, dan budaya. Unsur persamaan tersebut
dapat dijadikan sebagai identitas politik bersama atau untuk menentukan
tujuan organisasi politik yang dibangun berdasarkan geopolitik yang
terdiri atas populasi, geografis dan pemerintahan yang permanen yang
disebut negara atau state.
Pemberdayaan Identitas Nasional
Dalam rangka pemberdayaan Identitas Nasional kita, perlu ditempuh
melalui revitalisasi Pancasila. Revitalisasi sebagai manifesatsi
Identitas Nasional mengandung makna bahwa Pancasila harus kita letakkan
dalam keutuhannya dengan Pembukaan, dieksplorasikan dimensi-dimensi yang
melekat padanya, yang meliputi:
- Realitas: dalam arti bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dikonsentrasikan sebagai cerminan kondisi objektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat kampus utamanya, suatu rangkaian nilai-nilai yang bersifat sein im sollen dan das sollen im sein.
- Idealitas: dalam arti bahwa idealisme yang terkandung di dalamnya bukanlah sekedar utopia tanpa makna, melainkan di objektivasikan sebagai “kata kerja” untuk membangkitkan gairah dan optimisme para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif, menuju hari esok yang lebih baik, melalui seminar atau gerakan dengan tema “Revitalisasi Pancasila”.
- Fleksibilitas: dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah selesai dan “tertutup”menjadi sesuatu yang sakral, melainkan terbuka bagi tafsir-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan jaman yang terus-menerus berkembang. Dengan demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta fungsional sebagai tiang-tiang penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara dengan jiwa dan semangat “Bhinneka Tunggal Ika”, sebagaimana dikembangkan di Pusat Studi Pancasila (di UGM), Laboratorium Pancasila.
No comments:
Post a Comment